B. Litosfer
Lapisan batuan yang ada di dalam bumi disebut litosfer. Litosfer mencakup seluruh bagian padat bumi, termasuk intinya. Struktur padat bumi terdiri atas kerak bumi, mantel bumi, dan inti bumi. Masing masing struktur bumi dibedakan lagi menjadi bagian masing masing.
Kerak bumi dibedakan menjadi kerak benua dan samudra. Mantel bumi dibedakan menjadi mantel atas dan mantel bawah. Inti bumi dibedakan menjadi inti dalam dan inti luar. Berdasarkan struktur padat bumi, ada dua teori dasar yang dapat kita pelajari.
Alfred Wegener mengajukan sebuah teori bernama teori pergerakan benua (continental drift). Dalam teorinya, Wegener menjelaskan bahwa pada awalnya, semua benua di bumi menyatu membentuk suatu daratan yang sangat luas (pangea). Sekitar 200 juta tahun lalu, benua tersebut terpisah dan bergerak menjauh secara perlahan.
Penemuan fosil mendukung teori pergeseran benua. Salah satu buktinya adalah ditemukannya fosil Mesosourus di Amerika Selatan dan Afrika. Mesosourus adalah reptil yang hidup di darat dan di air tawar. Mesosourus tidak mungkin berenang di samudra untuk sampai ke benua lain. Oleh karena itu, Alfred Wagener beranggapan bahwa Mesosourus hidup di benua tersebut pada saat benua masih menyatu.
Selain fosil Mesosourus, penemuan fosil yang lainnya juga mendukung teori pergerakan lempeng yaitu :
- Fosil Cynognathus di Amerika Selatan dan Afrika
- Fosil Lystrosaurus di Afrika, India, dan Antartika
- Fosil Glossopteris di Amerika Selatan, Afrika, India, Antartika, dan Australia.
Selain itu, bebatuan yang menyusun benua tersebut memiliki kesamaan. Misalnya, struktur bebatuan pegunungan Appalachian di Amerika Serikat memiliki kesamaan dengan bebatuan di Pulau Greenland dan Eropa Barat. Struktur bebatuan di Amerika Selatan dan Afrika juga memiliki kesamaan. Tetapi, teori pergerakan benua yang diajukan Alfred Wagener tidak dapat menjelaskan bagaimana benua berpisah dan bergerak menjauh. Karena itu, teori pergerakan benua Alfred Wagener ditolak oleh para ahli pada saat itu.
b. Seafloor Spreading
Pada tahun 1960, seorang ilmuwan dari Princeton University bernama Harry Hess mengajukan teori yang bernama Seafloor Spreading atau pergerakan dasar laut. Harry Hess menjelaskan bahwa di bawah kerak Bumi tersusun atas material yang panas dan memiliki massa jenis yang rendah. Akibatnya, material tersebut naik ke punggung kerak samudra. Kemudian material bergerak ke samping bersama dasar kerak samudra, sehingga bagian dasar kerak samudra tersebut menjauh dari punggung kerak samudra dan membentuk sebuah patahan.
Karena dasar kerak samudra menjauh sehingga terbentuk patahan, maka magma akan naik ke atas dan mengisi patahan tersebut. Magma yang telah sampai ke patahan akan mendingin dan membentuk kerak yang baru. Teori ini mampu menjelaskan bagaimana proses terbentuknya lembah maupun gunung bawah laut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ternyata usia batuan dasar laut dengan kapal Glomar Challenger (1968) juga memperkuat teori ini. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa usia batuan pada punggung kerak samudra lebih tua dari usia batuan pada dasar kerak. Hal ini menunjukkan bahwa batuan di punggung kerak samudra baru terbentuk karena Seafloor Spreading.
c. Teori Tektonik Lempeng
Pada tahun 1960, para ilmuwan mengembangkan sebuah teori berdasarkan teori Continental Drift dan Seafloor Spreading. Teori ini disebut teori tektonik lempeng. Berdasarkan teori ini, kerak Bumi dan bagian atas dari mantel Bumi terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian ini disebut lempeng. Lempeng bersifat plastis dan dapat bergerak di lapisan ini. Lempeng tersusun atas kerak dan bagian atas mantel bumi.
Berdasarkan teori tektonik lempeng, bagian luar Bumi tersusun atas litosfer yang dingin dan kaku (lempeng) serta tersusun oleh astenosfer. Astenosfer bersifat plastis yang berada di bawah lempeng. Akibatnya, lempeng seolah-olah mengapung dan bergerak di atas astenosfer.
Ketika lempeng bergerak, akan terjadi interaksi antar lempeng. Lempeng dapat bergerak saling menjauh dan memisah. Selain itu, lempeng juga bisa saling mendekat hingga terjadi tubrukan antar lempeng.
Apabila 2 lempeng bergerak saling menjauh, lempeng tersebut bersifat Divergent. Adanya pergerakan Divergent ini mengakibatkan patahan/retakan.
Jika terdapat 2 lempeng yang saling mendekat, maka pergerakan tersebut disebut Convergent. Pergerakan lempeng secara konvergen akan mengakibatkan tabrakan antar lempeng. Akibatnya terjadi fenomena Subduksi/ tabrakan antarbenua. Subduksi merupakan hasil tabrakan lempeng Samudra dengan lempeng Benua yang berakibat lempeng Samudra menyelusup ke bawah lempeng Benua. Salah satu akibat dari subduksi adalah terbentuknya palung laut.
Contoh dari subduksi adalah terbentuknya Pegunungan Himalaya. Hal ini terjadi karena ketika Subduksi, salah satu kerak benua naik ke atas dan membentuk Pegunungan Himalaya.
d. Teori Konveksi
Dengan teknologi saat ini, ilmuwan berhasil menemukan penyebab terjadinya pergerakan lempeng tektonik. Alfred Wagener tidak bisa menjelaskan karena keterbatasan teknologi pada saat itu. Salah satunya adalah pergerakan lempeng karena teori konveksi.
Inti Bumi memiliki suhu 6.000 derajat C mampu memanaskan material mantel Bumi bagian bawah, sehingga massa jenis material tersebut berkurang. Akibatnya, material tersebut bergerak naik dari dasar ke permukaan mantel. Sesampainya di permukaan, material tersebut akan mengalami penurunan suhu, sehingga massa jenis material akan bertambah. Karena massa jenisnya bertambah, maka material tersebut akan turun ke dasar mantel. Di dasar mantel, material tersebut terkena panas Bumi kembali, sehingga proses konveksi terjadi terus menerus. Berdasarkan teori ini, ilmuwan berhipotesis bahwa konveksi inti Bumi menyebabkan pergerakan lempeng.
Berdasarkan penjelasan di atas,dapat diketahui bahwa Bumi merupakan planet yang dinamis dengan bagian inti yang panas. Panas dari inti Bumi akan berpindah secara konveksi, sehingga mengakibatkan pergerakan lempeng. Ketika lempeng bergerak, maka akan terjadi interaksi antar lempeng. Interaksi tersebut dapat membentuk sebuah palung laut, pegunungan, maupun sebuah gunung berapi. Ketika lempeng bergerak, maka sebuah energi akan dilepaskan berupa gelombang seismik atau gempa. Kamu dapat melihat efek dari pergerakan lempeng di daerah pegunungan,erupsi gunung berapi,atau tempat yang berubah setelah terjadinya gempa atau aktivitas gunung berapi.